Jakarta, albrita.com – Kantor Staf Kepresidenan (KSP) berencana melakukan kajian mendalam terkait kebijakan impor bahan bakar minyak (BBM) yang hanya dilakukan melalui PT Pertamina (Persero). Kepala KSP, Qodari, menegaskan bahwa langkah ini penting agar pemerintah mendapatkan gambaran lebih utuh soal dampak kebijakan tersebut, terutama terhadap pasokan BBM di SPBU swasta.
“Kita ingin kaji lebih jauh, mudah-mudahan hasil kajian dari KSP bisa jadi masukan, bahkan pembanding bagi pembuat kebijakan,” ujar Qodari di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Menurutnya, tidak jarang kebijakan yang lahir dari niat baik justru menimbulkan masalah baru di lapangan. Apalagi, isu BBM bukan hanya soal energi, melainkan persoalan sosial yang melibatkan banyak pihak. “Kadang ada blind spot, seperti saat kita bawa mobil ada titik buta yang tak terlihat. Itu yang harus kita identifikasi sejak awal,” katanya.
Qodari berharap kajian KSP dapat menghasilkan rekomendasi mekanisme yang lebih adil, sehingga kebijakan tidak menimbulkan kontroversi atau kerugian di kemudian hari.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan kebijakan impor BBM satu pintu lewat Pertamina. Dengan aturan ini, perusahaan swasta seperti Shell, BP, dan Vivo wajib membeli BBM dari Pertamina jika ingin memasok SPBU mereka.
Aturan tersebut sebenarnya berlandaskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang memberi ruang bagi pemerintah untuk menjalankan praktik monopoli demi kepentingan umum.
Namun, Kepala Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus (Bappisus), Aries Marsudiyanto, membantah anggapan bahwa kebijakan ini berarti monopoli. “Enggak ada monopoli. Distribusi BBM tetap dilakukan sebaik-baiknya untuk semua SPBU,” tegas Aries.
Selain persoalan teknis, kebijakan impor BBM satu pintu juga dinilai bisa berdampak pada persaingan usaha. Sejumlah pengamat menilai, aturan ini berpotensi mengurangi ruang gerak perusahaan swasta yang sebelumnya memiliki jalur impor sendiri. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan minat investor asing untuk masuk ke sektor hilir migas Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah berdalih bahwa mekanisme satu pintu diperlukan agar harga dan distribusi BBM lebih terkendali. Pertamina diposisikan sebagai pusat kendali untuk memastikan ketersediaan energi nasional tetap aman. Namun, tantangan yang muncul adalah bagaimana Pertamina mampu memenuhi kebutuhan BBM yang terus meningkat, terutama di daerah-daerah yang selama ini dilayani oleh SPBU swasta.
Kritik juga datang dari kalangan pelaku usaha kecil di sektor transportasi. Mereka khawatir kebijakan ini justru membuat pasokan BBM menjadi tersendat di lapangan, apalagi jika Pertamina menghadapi keterbatasan logistik. “Kalau distribusi telat, kita yang paling kena dampaknya,” ujar salah satu pengemudi angkutan umum di Jakarta.
Meski demikian, KSP menegaskan bahwa tujuan utama kajian ini bukan untuk menghambat kebijakan pemerintah, melainkan memberikan pandangan alternatif agar implementasi di lapangan lebih adil dan efisien. “Kita ingin blind spot bisa diantisipasi sejak dini, supaya tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari,” tutup Qodari. (YS*)