Jakarta, albrita.com – Rencana pemerintah dan DPR yang kembali memasukkan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) dalam Prolegnas Prioritas 2025 menuai sorotan tajam. Jika jadi digelar, Indonesia akan tercatat sebagai salah satu negara paling sering mengadakan program pemutihan pajak, bahkan tiga kali dalam sepuluh tahun terakhir.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan penolakannya terhadap wacana tersebut. Menurutnya, pengampunan pajak yang terlalu sering justru melemahkan kredibilitas kebijakan fiskal sekaligus menimbulkan persepsi keliru di mata wajib pajak.
“Kalau setiap dua tahun ada tax amnesty, orang bisa berpikir tidak perlu taat, toh nanti ada pemutihan lagi. Itu bukan sinyal yang baik,” ujar Purbaya, Senin (22/9/2025).
Ia menilai, kebijakan fiskal yang sehat harus dibangun di atas kepastian hukum, kepatuhan, dan rasa keadilan. Memberikan pemutihan berulang-ulang hanya akan menguntungkan pengemplang pajak sekaligus merugikan masyarakat yang selama ini patuh.
Purbaya menambahkan, alih-alih meluncurkan tax amnesty baru, pemerintah sebaiknya memperkuat aturan yang ada, memperbaiki sistem administrasi, serta meningkatkan pengawasan berbasis teknologi. Langkah itu dinilai lebih efektif untuk menutup celah penghindaran pajak sekaligus meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan.
Selain itu, ia juga menegaskan perlunya edukasi publik secara masif agar kesadaran membayar pajak tumbuh secara sukarela. Menurutnya, pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk gotong royong nasional untuk membiayai pembangunan.
Pengamat kebijakan fiskal juga menilai kekhawatiran Purbaya cukup beralasan. Jika tax amnesty terus diulang, wibawa otoritas pajak bisa goyah, dan tujuan utama reformasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang akan semakin sulit tercapai.
Dengan sikap tegas ini, pemerintah didorong untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Diskusi soal tax amnesty sebaiknya tidak lagi dijadikan jalan pintas, melainkan momentum memperkuat pondasi fiskal negara. (WF*)









