Jakarta, albrita.com – Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar AS pada Senin (22/9/2025). Berdasarkan laporan Bloomberg, rupiah turun 13,50 poin atau 0,08 persen ke level Rp16.614,5 per dolar AS.
Dolar AS tercatat stabil di pasar global karena pelaku pasar menunggu serangkaian pidato pejabat Federal Reserve (Fed) sepanjang minggu ini. Pidato tersebut diperkirakan memberikan petunjuk mengenai arah kebijakan suku bunga AS setelah bank sentral melanjutkan siklus pelonggarannya pekan lalu.
Pergerakan mata uang di pasar Asia pagi ini relatif tenang, berbeda dengan pekan sebelumnya yang fluktuatif menyusul keputusan suku bunga dari Fed, Bank of England (BoE), dan Bank of Japan (BoJ). Yen Jepang melemah 0,16 persen ke level 148,22 per dolar AS setelah retorika BoJ yang lebih agresif meningkatkan ekspektasi kenaikan suku bunga jangka pendek.
Poundsterling Inggris juga tertekan, turun ke level terendah dua minggu di USD 1,3458. Penurunan ini dipicu oleh lonjakan pinjaman publik Inggris dan tantangan kebijakan moneter BoE dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi domestik. Jane Foley, kepala strategi valas Rabobank, memproyeksikan pound akan melemah lebih lanjut menjelang musim gugur dan berpotensi bertahan dalam tren pelemahan.
Di pasar domestik, rupiah sedikit terpengaruh oleh pergerakan global, namun investor masih menaruh perhatian pada pidato Fed yang dijadwalkan minggu ini. Sekitar 10 pejabat Fed, termasuk Ketua Jerome Powell, akan memberikan pandangan mereka mengenai kondisi ekonomi dan independensi bank sentral.
Joseph Capurso, kepala valuta asing di Commonwealth Bank of Australia, menilai bahwa pidato-pidato tersebut berpotensi menggerakkan pasar valuta asing, khususnya opini terkait independensi Fed dan pengaruh Presiden AS terhadap kebijakan moneter.
Analis memantau dengan seksama bagaimana pidato-pidato ini akan memengaruhi sentimen pasar global dan pergerakan rupiah, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dan dinamika suku bunga internasional.
Investor disarankan tetap waspada terhadap volatilitas, karena data ekonomi dan komentar pejabat bank sentral dapat memicu perubahan signifikan dalam perdagangan valuta asing. (MDA*)