Pekalongan, albrita.com – Ekspor batik asal Kota Pekalongan hingga saat ini baru menyentuh sekitar 20 persen dari total produksi. Pasar utama yang paling banyak menyerap batik Pekalongan adalah Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Wali Kota Pekalongan, H.A Afzan Arslan Djunaid, menjelaskan bahwa sebagian besar batik masih terserap pasar domestik karena dinilai lebih stabil. Meski demikian, minat dari pasar internasional perlahan mulai berkembang.
“Untuk pasar ekspor kita memang masih di angka 20 persen, sementara sisanya terserap dalam negeri,” ujar Afzan usai menghadiri Indonesia Batik Outlook & Launching Festival Batik 3 Kota 2025 di Gedung Smesco, Jakarta, Jumat (3/10).
Menurut Afzan, batik Pekalongan juga mulai dilirik konsumen Eropa, meski masih terbatas. Produk sarung khas Pekalongan bahkan cukup diminati di kawasan Timur Tengah. Sementara itu, pasar Afrika lebih menyukai batik dengan warna-warna cerah.
Ia menambahkan, tren penjualan batik saat ini sudah membaik pasca pandemi. Keterlibatan generasi muda, baik milenial maupun Gen Z, menjadi faktor yang ikut mendorong perkembangan industri batik. Pemerintah daerah pun rutin mengadakan lomba desain batik untuk melibatkan mereka.
Dukungan juga datang dari pemerintah pusat, baik Kementerian UMKM maupun Kementerian Luar Negeri, yang terus membuka akses pasar baru lewat keikutsertaan pada sejumlah pameran internasional seperti di Dubai dan Jerman.
Meski industri tekstil nasional sempat terkendala pasokan bahan baku akibat penutupan pabrik, Afzan menyebut Pekalongan masih relatif aman karena memiliki sentra tekstil dan produsen pewarna batik. Saat ini, daerah tersebut juga tengah mengembangkan batik berbasis pewarna alami, meski masih menghadapi tantangan dari sisi warna yang kurang cerah.
“Kita ingin warna batik alami ini ke depan bisa lebih cerah dan diminati anak muda. Meski Pekalongan punya motif khas, kami tetap mendorong setiap daerah mengembangkan motif sendiri agar kekayaan batik Indonesia semakin beragam,” pungkas Afzan. (WF*)