Jakarta. albrita.com–Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang menyeret Nadiem Makarim sebagai tersangka menyingkap dimensi baru dalam praktik kekuasaan dan bisnis di Indonesia. Selain nilai proyek yang fantastis — mencapai Rp9,9 triliun dan menimbulkan dugaan kerugian negara sekitar Rp1,98 triliun — kasus ini menyoroti potensi conflict of interest antara jabatan publik dan latar belakang korporasi global sang menteri.
Investasi Google dan Jejak Gojek
Cerita bermula pada tahun 2018, ketika Google menanamkan investasi besar senilai sekitar USD 1,2 miliar ke Gojek — perusahaan rintisan yang kala itu dipimpin oleh Nadiem Makarim. Setahun kemudian, Nadiem meninggalkan dunia bisnis dan dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak lama berselang, Kemendikbud meluncurkan program digitalisasi sekolah nasional. Salah satu kebijakan kuncinya: pengadaan perangkat Chromebook — produk milik Google. Dari sinilah benang merah dugaan konflik kepentingan mulai terlihat.
Tiga Titik Kritis Konflik Kepentingan
Dugaan relasi bisnis masa lalu yang berlanjut ke kebijakan publik ini menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan analisis forensik, ada tiga titik krusial yang menguatkan indikasi konflik kepentingan:
-
Jejak finansial antara Google dan Gojek, di mana Nadiem pernah menjadi CEO.
-
Arahan langsung dari Menteri dalam rapat internal (6 Mei 2020) untuk menggunakan Chromebook tanpa proses uji vendor terbuka.
-
Ketiadaan transparansi terkait potensi benturan kepentingan atau mekanisme pencegahannya.
Membaca Mens Rea di Balik Kebijakan
Dalam hukum pidana, mens rea atau niat jahat menjadi unsur penting untuk membuktikan tindak pidana korupsi. Berdasarkan kajian hukum, ada empat elemen yang patut dicermati:
-
Motif: hubungan investasi masa lalu menimbulkan motif pribadi atau strategis.
-
Pengetahuan: Nadiem menyadari kebijakan Chromebook menguntungkan produk Google.
-
Tujuan: kebijakan diarahkan secara spesifik ke satu produk tanpa kompetisi terbuka.
-
Keuntungan: tidak hanya finansial, tetapi juga keuntungan strategis bagi Google.
Pembelaan dan Catatan Kritis
Pihak pembela bisa saja berargumen bahwa kebijakan Chromebook bertujuan mendorong transformasi digital pendidikan, bukan balas jasa. Google pun memang dikenal menyediakan teknologi serupa di berbagai negara. Namun tanpa transparansi dan proses kompetitif, kebijakan ini tetap mengandung aroma penyalahgunaan kewenangan.
Preseden Hukum: Jejak Putusan MA
Dua putusan Mahkamah Agung memperkuat konteks ini.
-
Putusan No. 155 K/Pid.Sus/2013: pejabat dihukum karena mengarahkan proyek ke perusahaan tertentu meski tak menerima uang.
-
Putusan No. 439 K/Pid.Sus/2015: mens rea dianggap ada bila pejabat tahu kebijakannya menguntungkan pihak tertentu tanpa dasar objektif.
Kesimpulan: Bahaya Konflik Kepentingan Struktural
Analisis forensik menunjukkan indikasi kuat adanya konflik kepentingan struktural yang melahirkan potensi mens rea. Kebijakan pengadaan Chromebook secara langsung menguntungkan Google — perusahaan yang pernah berhubungan bisnis dengan sang menteri.
Meski belum terbukti ada aliran dana pribadi, pola kebijakan ini memperlihatkan pentingnya pembatasan ketat bagi pejabat publik yang memiliki latar belakang korporasi. Tanpa mekanisme mitigasi konflik kepentingan yang tegas, ruang abu-abu antara kebijakan publik dan kepentingan bisnis akan terus terbuka lebar. (Ferwinta Zen (Lawyer)









