Penulis: Ferwinta Zen, SE, SH, MH
Jakarta-Pemerintah baru dinilai memiliki dasar hukum yang kuat untuk meninjau ulang kontrak proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) yang melibatkan kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok. Langkah renegosiasi bahkan dianggap sah secara hukum dan penting untuk melindungi kepentingan publik, menyusul temuan pembengkakan biaya proyek dari Rp80 triliun menjadi lebih dari Rp113 triliun sebagaimana dilaporkan BPK pada 2023.
Temuan itu memunculkan dugaan adanya praktik markup dan korupsi pada masa pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini membuka ruang bagi pemerintah untuk melakukan renegosiasi atau bahkan pembatalan kontrak jika ditemukan pelanggaran berat yang merugikan negara.
Renegosiasi Sah Berdasarkan Hukum
Pakar hukum Ferwinta Zen menjelaskan bahwa asas rebus sic stantibus dalam hukum internasional memberikan hak bagi negara untuk meninjau ulang kontrak ketika terjadi perubahan mendasar yang tak terduga sejak perjanjian dibuat. Prinsip ini diperkuat oleh Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya strategis harus ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Selain itu, prinsip good faith mengharuskan kedua pihak menjalankan kontrak dengan integritas dan tanggung jawab. Dengan demikian, renegosiasi proyek KCIC tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi kepentingan publik.
Langkah Renegosiasi KCIC
Pemerintah dapat memulai proses renegosiasi dengan beberapa tahapan strategis. Pertama, melakukan audit independen untuk memastikan besaran kerugian negara akibat biaya tak wajar. Kedua, menjalankan dialog bilateral dengan pemerintah Tiongkok melalui jalur diplomatik dengan tetap mengedepankan semangat kerja sama dan keadilan.
Langkah ketiga, menyesuaikan klausul kontrak melalui penerapan Dynamic Sovereignty Clause, agar skema pembiayaan, kepemilikan saham, dan jadwal pembayaran lebih sesuai dengan kepentingan nasional. Pemerintah juga perlu menerapkan mekanisme pengawasan dan transparansi berkala guna memastikan akuntabilitas proyek tetap terjaga.
Pelajaran dari Dunia Internasional
Sejumlah negara seperti Iran (1951), Meksiko (1938), serta Bolivia dan Venezuela pada era 2000-an pernah mengambil langkah berani meninjau ulang atau menasionalisasi proyek energi yang dianggap merugikan rakyat. Mereka menegaskan hak kedaulatan nasional dalam mengelola sumber daya strategis, asalkan dilakukan secara transparan dan berlandaskan hukum internasional.
Renegosiasi Lebih Realistis dari Pembatalan
Ferwinta menilai renegosiasi menjadi opsi paling realistis dibanding pembatalan. Pendekatan ini menjaga hubungan diplomatik dengan Tiongkok dan memungkinkan proyek tetap berjalan dengan efisiensi lebih baik.
Melalui renegosiasi, pemerintah dapat menyesuaikan skema pembiayaan agar lebih adil bagi Indonesia, menata ulang komposisi kepemilikan saham, serta memperketat mekanisme pengawasan dan pelaporan rutin. Pembatalan kontrak, menurutnya, hanya layak ditempuh jika terbukti terjadi pelanggaran berat dan kerugian negara sangat besar.
Kesimpulan
Renegosiasi proyek KCIC menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan hukum dan ekonomi. Dengan dasar hukum internasional dan konstitusional yang kuat, pemerintah dapat menempuh pendekatan Dynamic Sovereignty Clause guna memastikan proyek strategis nasional berjalan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan keberpihakan kepada rakyat.
Langkah ini tidak hanya menjaga kredibilitas negara di mata investor asing, tetapi juga menunjukkan komitmen Indonesia dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi global dengan kepentingan nasional.









