Dua figur kuat Kejaksaan bersaing di bawah sorotan publik dan ekspektasi reformasi hukum era baru
Oleh: Ferwinta Zen — Lawyer di Jakarta
Pasca terbentuknya Kabinet Merah Putih, publik menyoroti satu posisi strategis yang belum diumumkan: Jaksa Agung Republik Indonesia. Di tengah janji pemerintahan baru untuk memperkuat supremasi hukum, dua nama muncul sebagai kandidat kuat — Febrie Adriansyah, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), dan Reda Manthovani, Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel). Keduanya mewakili dua pendekatan berbeda terhadap masa depan kejaksaan: penindakan keras versus reformasi kelembagaan.
Figur Penindakan dan Ketegasan: Febrie Adriansyah
Febrie Adriansyah dikenal sebagai jaksa tegas dan lugas. Di bawah kepemimpinannya, bidang pidana khusus berhasil membongkar berbagai kasus korupsi besar serta memulihkan aset negara dalam jumlah signifikan. Ia tampil sebagai “jaksa lapangan” yang tidak gentar menghadapi risiko politik, dan simbol keberanian dalam penegakan hukum yang sering dianggap mandek.
Namun, gaya konfrontatif Febrie juga memunculkan kritik. Pendekatan keras yang ia gunakan terkadang menimbulkan kesan berlebihan, terutama dalam kasus yang bersinggungan dengan kekuasaan. Tantangan bagi Febrie adalah menjaga keseimbangan antara ketegasan dan akuntabilitas agar setiap langkahnya tetap berada di koridor hukum, bukan politik.
Dalam konteks kepemimpinan Presiden Prabowo, karakter seperti Febrie selaras dengan nilai disiplin dan orientasi hasil. Bila fokus pemerintahan baru adalah pemberantasan korupsi cepat dan pemulihan aset negara, Febrie menjadi pilihan strategis yang menjanjikan dampak langsung dan citra kuat di mata publik.
Arsitek Reformasi dan Pencegahan: Reda Manthovani
Berbeda dengan Febrie, Reda Manthovani tampil lebih tenang dan sistematis. Sebagai Jamintel, ia memperkuat intelijen hukum dan mendorong pendekatan pencegahan melalui edukasi publik serta kerja sama lintas lembaga. Reda dikenal akrab dengan dunia akademik, aktif dalam advokasi HAM, dan menekankan pentingnya reformasi kelembagaan jangka panjang.
Reda menawarkan visi kejaksaan modern: bukan hanya menindak, tetapi membangun sistem yang membuat korupsi semakin sulit dilakukan. Pendekatan ini selaras dengan kebutuhan pemerintah untuk menjaga stabilitas hukum dan iklim investasi.
Bagi Presiden Prabowo, Reda mencerminkan pilihan reformis — sosok yang bisa menjadi simbol pemerintahan beradab dan terukur, dengan orientasi pada pembenahan sistem hukum, bukan sekadar popularitas tindakan.
Pertarungan Nilai dan Arah Kebijakan
Persaingan Febrie dan Reda bukan sekadar perebutan jabatan, tetapi pertarungan dua paradigma besar dalam penegakan hukum Indonesia. Febrie menonjolkan hasil nyata dan ketegasan, sementara Reda menekankan reformasi kelembagaan dan keberlanjutan sistem.
Jika pemerintah mengutamakan ketegasan dan kecepatan, Febrie adalah simbol yang tepat. Namun, bila orientasi politik hukum diarahkan pada rekonsiliasi, transparansi, dan reformasi birokrasi, Reda menjadi pilihan rasional. Keputusan Presiden Prabowo nantinya akan menggambarkan arah kejaksaan lima tahun ke depan — apakah menjadi “alat tempur” pemberantasan korupsi atau motor reformasi hukum modern.
Penutup: Momentum dan Harapan
Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk menata ulang wajah kejaksaan: profesional, transparan, dan berintegritas. Siapa pun yang dipilih, publik berharap Jaksa Agung baru bukan hanya menjadi eksekutor hukum, tetapi juga arsitek sistem keadilan yang berpihak pada rakyat.
Kejaksaan harus berdiri di atas moralitas hukum, bukan kepentingan kekuasaan. Di tangan pemimpin yang tepat, lembaga ini bisa menjadi penjaga konstitusi dan pilar reformasi hukum sejati di era Prabowo.









