Jakarta–Di sebuah lapangan sederhana, ratusan orang berkumpul dengan wajah penuh semangat. Mereka bukan sekadar massa yang berorasi, melainkan bagian dari sebuah gerakan baru bernama Brave Pink Hero Green.
Nama ini terdengar unik, namun sarat makna. Pink adalah simbol keberanian untuk melawan ketidakadilan, sementara hijau adalah lambang kepedulian untuk menjaga keadilan dan masa depan.
Gerakan ini lahir dengan membawa 17+8 tuntutan rakyat—sebuah manifesto yang mencerminkan suara hati masyarakat kecil: keadilan sosial, hak-hak buruh, pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan lingkungan.
Kisah Ibu Marni: Suara dari Pinggiran
Di tengah kerumunan, ada Ibu Marni (46), seorang pedagang sayur di pasar tradisional. Rambutnya sudah beruban sebagian, tapi semangatnya masih menyala. Ia datang dari kampungnya yang berjarak hampir 40 kilometer hanya untuk ikut bergabung.
“Saya bukan siapa-siapa. Saya cuma pedagang sayur. Tapi harga-harga makin naik, sementara penghasilan saya tetap segitu-gitu saja. Saya ikut Brave Pink Hero Green karena saya ingin anak-anak saya bisa sekolah tanpa harus mikir bayar uang seragam,” ucapnya lirih, sambil mengusap peluh di wajahnya.
Bagi Marni, bergabung dengan gerakan ini bukan sekadar ikut-ikutan. Ia merasa punya tempat untuk menyampaikan keluh kesah yang selama ini terpendam.
Suara yang Tak Boleh Hilang
Rahman Fikri, koordinator lapangan gerakan ini, mengatakan bahwa setiap suara seperti yang disampaikan Ibu Marni adalah alasan mengapa Brave Pink Hero Green ada.
“Gerakan ini bukan untuk menara gading. Ini untuk orang-orang seperti Bu Marni, yang suaranya sering tidak didengar. 17+8 tuntutan rakyat adalah milik mereka, bukan milik elite,” tegasnya.
Gerakan ini mengajak semua orang untuk tidak lagi pasrah, tetapi ikut berani memperjuangkan keadilan.
Solidaritas yang Menguatkan
Selain Marni, banyak wajah lain yang hadir dengan cerita masing-masing. Ada buruh yang menuntut upah layak, petani yang menginginkan harga gabah stabil, hingga mahasiswa yang menuntut kebebasan berekspresi. Mereka semua berkumpul dalam satu payung: Brave Pink Hero Green.
“Pink itu keberanian. Hijau itu kepedulian. Keduanya harus menyatu. Kalau kita berani tanpa peduli, kita bisa jadi kejam. Kalau kita peduli tanpa berani, suara kita akan hilang. Brave Pink Hero Green adalah keseimbangan itu,” ujar Dewi Anggraini, salah satu aktivis perempuan yang menjadi penggerak.
Kita adalah Perubahannya
Gerakan ini berdiri dengan keyakinan kuat: perubahan tidak datang dari atas, melainkan dari bawah—dari rakyat itu sendiri.
“Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Brave Pink Hero Green mengingatkan bahwa kita adalah perubahannya. Perubahan ada di tangan kita, bukan orang lain,” kata Yudha Pratama, aktivis lingkungan yang juga terlibat.
Harapan yang Terus Hidup
Bagi Ibu Marni, Brave Pink Hero Green adalah harapan baru.
“Saya tidak tahu apakah suara saya akan langsung didengar. Tapi yang penting, saya tidak lagi sendiri. Saya punya teman, saya punya keberanian. Semoga anak-anak saya kelak bisa hidup lebih baik,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Brave Pink Hero Green kini bukan lagi sekadar nama. Ia adalah cerita, wajah, dan semangat rakyat kecil. Dari pasar tradisional hingga ruang-ruang diskusi, dari jeritan hati hingga tuntutan nyata.
Dan di tengah semua itu, pesan yang paling kuat adalah: kita adalah saksi, sekaligus bagian dari perubahan.
Gerakan Brave Pink Hero Green mengajarkan satu hal penting: keberanian dan kepedulian harus berjalan bersama. Tanpa keberanian, kepedulian akan tenggelam. Tanpa kepedulian, keberanian bisa kehilangan arah.
Suara rakyat kecil seperti Ibu Marni adalah bukti bahwa perubahan bukanlah hal yang jauh, melainkan sesuatu yang bisa lahir dari kesederhanaan, dari keberanian untuk bicara, dan dari kepedulian untuk tidak membiarkan ketidakadilan terus berlangsung.
Kini, saatnya setiap kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita akan diam, atau ikut bergerak?
Karena perubahan tidak datang dari orang lain. Perubahan ada pada kita.









