Kathmandu, albrita.com – Nepal kembali diguncang tragedi besar dalam gelombang demonstrasi yang kian tak terkendali. Amarah massa yang membara pada Selasa (9/9/2025) berujung pada kematian Rajyalaxmi Chitrakar, istri mantan Perdana Menteri Nepal, Jhalanath Khanal. Ia tewas setelah rumahnya di ibu kota Kathmandu dibakar oleh demonstran.
Peristiwa itu terjadi di kawasan Dallu, salah satu distrik di pusat Kathmandu. Saat ribuan orang turun ke jalan, rumah Khanal dan istrinya ikut menjadi sasaran. Api dengan cepat menjalar, membuat Chitrakar terjebak di dalam bangunan. Upaya penyelamatan tidak berhasil dilakukan tepat waktu.
Chitrakar sempat dibawa ke Rumah Sakit Khusus Luka Bakar Kirtipur. Namun, luka bakar yang dialaminya sangat parah. Tenaga medis tidak mampu menyelamatkan nyawanya. Beberapa jam setelah kejadian, ia dinyatakan meninggal dunia.
Sementara itu, keberadaan mantan PM Khanal masih belum diketahui jelas. Beberapa laporan menyebut ia berhasil menyelamatkan diri, namun hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari pihak keluarga maupun otoritas setempat.
Khanal sendiri pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Nepal pada tahun 2011, meski hanya enam bulan. Namanya tetap dikenal dalam dunia politik Nepal. Kematian istrinya kini menjadi salah satu simbol tragis dari betapa brutalnya gelombang demonstrasi yang melanda negeri Himalaya tersebut.
Demonstrasi yang awalnya dipicu oleh pemblokiran media sosial oleh pemerintah Nepal dengan cepat melebar menjadi kemarahan massal. Kaum muda, terutama Gen Z, turun ke jalan setelah akses ke Facebook, X, dan YouTube dibatasi. Mereka menilai langkah itu sebagai pembungkaman kebebasan berekspresi.
Meski pemerintah mencabut pemblokiran pada Senin (8/9) malam, protes justru semakin meluas. Isu kebebasan digital berubah menjadi kritik tajam terhadap korupsi, gaya hidup mewah anak pejabat, dan kesenjangan sosial yang semakin terasa.
Dalam waktu singkat, kerusuhan menjalar ke berbagai titik di Kathmandu. Gedung parlemen dibakar. Beberapa rumah pejabat ikut dijadikan sasaran. Bahkan bandara internasional di ibu kota harus ditutup. Helikopter militer dikerahkan untuk mengevakuasi sejumlah menteri.
Namun, langkah itu tidak menghentikan massa. Bentrokan pun pecah. Polisi yang berusaha membubarkan kerumunan melepaskan tembakan ke arah demonstran. BBC melaporkan sedikitnya 22 orang tewas akibat peluru aparat. Ratusan lainnya mengalami luka serius.
Situasi semakin kacau ketika kabar kematian Rajyalaxmi Chitrakar menyebar. Banyak yang kaget karena korban berasal dari kalangan keluarga elite politik. Namun bagi massa yang marah, rumah pejabat hanyalah simbol ketidakadilan yang mereka lawan.
Tragedi itu mengguncang panggung politik Nepal. Pada hari yang sama, Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli menyatakan pengunduran dirinya. Keputusan itu diambil untuk meredakan situasi, tetapi justru dianggap terlalu terlambat. Massa tetap marah dan bahkan membakar rumah Oli hingga hangus.
Kekerasan semakin tak terkendali ketika sebuah video memperlihatkan Menteri Keuangan Bishnu Prasad Paudel dikejar di jalanan Kathmandu. Dalam rekaman itu, pria berusia 65 tahun tersebut ditendang dan dipukuli oleh massa yang histeris. Video itu cepat menyebar di media sosial, memperlihatkan betapa rapuhnya keamanan pejabat tinggi negara.
Generasi muda menjadi motor utama gerakan ini. Mereka menolak sikap pemerintah yang dianggap otoriter dan gagal memberikan masa depan yang layak. Pengangguran yang tinggi, ditambah kemewahan anak-anak pejabat yang sering dipamerkan di dunia maya, menambah api kemarahan rakyat.
Kematian istri mantan PM Khanal menjadi pengingat pahit bahwa kekerasan bisa melahap siapa saja, bahkan orang-orang yang sebelumnya tidak terlibat langsung dalam pemerintahan. Rajyalaxmi Chitrakar hanyalah bagian dari keluarga politik yang kemudian menjadi korban dari gejolak besar di jalanan.
Kini Nepal menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Dengan puluhan korban jiwa, ratusan luka-luka, dan jatuhnya korban dari keluarga elite politik, kepercayaan masyarakat terhadap negara semakin terkikis.
Masyarakat internasional mulai menyuarakan keprihatinan. Namun, di dalam negeri, kemarahan tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Demonstran masih memenuhi jalanan, meneriakkan tuntutan reformasi besar-besaran.
Tragedi yang merenggut nyawa Rajyalaxmi Chitrakar menambah luka mendalam bagi Nepal. Peristiwa itu bukan hanya soal politik, tetapi juga tentang bagaimana sebuah bangsa berjuang melawan krisis kepercayaan, ketidakadilan, dan jurang sosial yang semakin menganga. (MDA*)