Jakarta, albrita.com – Pendidikan vokasi di Indonesia mendapat sorotan baru dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti. Ia mengusulkan agar siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menempuh pendidikan selama empat tahun, bukan tiga tahun seperti selama ini.
Menurut Mu’ti, tiga tahun pertama tetap digunakan untuk proses pembelajaran akademik dan kejuruan sebagaimana biasanya. Namun pada tahun keempat, siswa diberi ruang khusus untuk memperdalam keterampilan praktis yang berhubungan langsung dengan dunia kerja.
Tambahan satu tahun ini, kata Mu’ti, akan berfokus pada soft skills, bahasa asing, hingga pemahaman lintas budaya. Hal itu diyakini bisa membuat lulusan SMK tidak hanya siap bekerja di dalam negeri, tetapi juga memiliki daya saing global.
“Harapannya, setelah lulus, mereka bisa langsung bekerja, membuka usaha, atau melanjutkan pendidikan tinggi dengan bekal yang lebih kuat,” ujar Mu’ti dalam keterangan tertulis, Kamis (11/9/2025).
Mu’ti mengungkapkan bahwa pemerintah terus memperkuat kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri. Hingga kini, lebih dari 500 SMK di Indonesia sudah menjalin kolaborasi dengan mitra internasional. Kerja sama tersebut membuka peluang besar bagi siswa SMK untuk mendapatkan pengalaman magang, bahkan sebelum lulus sekolah. Sebagian di antaranya sudah merasakan kesempatan magang di perusahaan asing yang menjadi mitra sekolah mereka.
“Ini menunjukkan kualitas pendidikan vokasi kita semakin dipercaya,” jelas Mu’ti. Menurutnya, pengalaman magang internasional memberi nilai tambah signifikan bagi lulusan SMK, karena mereka sudah terbiasa dengan standar kerja global.
Dalam pandangan pemerintah, SMK adalah ujung tombak dalam mencetak generasi muda yang siap menghadapi persaingan dunia kerja. Mu’ti menegaskan, lulusan SMK tidak boleh hanya mengandalkan keterampilan teknis, melainkan juga harus memiliki kemampuan beradaptasi, komunikasi lintas budaya, serta sikap profesional.
Untuk itu, pemerintah sedang mendorong kurikulum baru yang menekankan keselarasan dengan kebutuhan industri. Strategi pembelajaran juga diubah agar lebih aplikatif, memberi ruang bagi siswa untuk belajar melalui praktik langsung di lapangan. “SMK harus menghasilkan lulusan yang siap kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri,” tegas Mu’ti.
Salah satu program unggulan yang sedang diperkuat adalah magang internasional. Program ini memungkinkan siswa SMK mengembangkan keterampilan sambil berinteraksi dengan budaya kerja di luar negeri. Mu’ti menilai, pengalaman magang di luar negeri tidak hanya memperkaya kompetensi teknis, tetapi juga melatih mental dan kepercayaan diri siswa.
“Program magang internasional ini adalah bukti nyata bahwa anak-anak kita mampu bersaing dan siap mengembangkan karier di level global,” katanya. Dengan cara ini, lulusan SMK diharapkan bisa langsung diterima di industri yang menuntut standar tinggi. Bahkan, peluang untuk bekerja di perusahaan multinasional atau melanjutkan studi ke luar negeri akan semakin terbuka.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menaruh perhatian besar pada penguatan pendidikan vokasi. Langkah ini dilakukan seiring dengan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja terampil di berbagai sektor. Pendidikan SMK tidak lagi dipandang sebagai jalur alternatif, melainkan sebagai jalur utama yang dapat melahirkan sumber daya manusia unggul dan produktif.
Untuk itu, pemerintah memastikan seluruh program SMK diarahkan agar selaras dengan peta kebutuhan tenaga kerja nasional maupun internasional. Dunia kerja saat ini semakin kompetitif, sehingga lulusan SMK tidak cukup hanya menguasai keterampilan dasar. Mereka perlu dibekali dengan daya saing global, baik dari sisi bahasa, pengetahuan lintas budaya, maupun kemampuan bekerja dalam tim multinasional.
Meski usulan memperpanjang masa pendidikan SMK menjadi empat tahun masih dalam tahap pembahasan, banyak pihak menilai ide tersebut sebagai langkah positif. Namun, tantangan tentu tetap ada, mulai dari kesiapan sekolah, tenaga pendidik, hingga dukungan fasilitas.
Beberapa praktisi pendidikan menekankan pentingnya pendanaan yang memadai agar program berjalan efektif. Selain itu, sinergi dengan dunia usaha harus semakin diperkuat, sehingga siswa benar-benar mendapat pengalaman yang relevan dengan kebutuhan industri.
Pemerintah optimistis, dengan dukungan semua pihak, lulusan SMK di masa depan akan lebih tangguh dan kompetitif. Bagi siswa, tambahan satu tahun di sekolah bukan sekadar perpanjangan waktu, melainkan investasi untuk masa depan yang lebih cerah.
Mu’ti menutup dengan penegasan bahwa lulusan SMK harus menjadi agen perubahan. Mereka diharapkan tidak hanya mengisi lapangan pekerjaan, tetapi juga mampu menciptakan peluang usaha baru dan membawa nama Indonesia di kancah global. (MDA*)