JAKARTA, albrita.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Salah satu pihak yang diperiksa adalah mantan anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024, Satori. Pemeriksaan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis (11/9).
Satori tiba di gedung KPK sekitar pukul 09.28 WIB. Setelah menjalani pemeriksaan selama kurang lebih 7,5 jam, ia tampak keluar sekitar pukul 16.58 WIB. Kepada wartawan, Satori mengaku pemeriksaan masih seputar aliran dana CSR BI-OJK yang menyeret namanya.
“Masih terkait kasus CSR BI-OJK itu,” kata Satori singkat.
Salah satu isu yang muncul adalah penyitaan 15 unit mobil milik Satori. Penyidik KPK menyita belasan mobil tersebut di kawasan Cirebon, Jawa Barat. Namun, Satori membantah bahwa mobil-mobil itu hasil dari uang korupsi.
Menurutnya, kendaraan tersebut merupakan bagian dari bisnis jual beli mobil di showroom yang sudah ia jalankan sejak lama. “Mobil jualan, showroom lah. Itu sudah ada bahkan sebelum saya jadi anggota DPR,” ujar politisi NasDem itu.
Meski begitu, Satori tidak bisa menjelaskan secara rinci jumlah mobil yang ia beli sebelum dan setelah menjabat sebagai wakil rakyat. “Belum saya rinci,” tambahnya.
Ketika ditanya soal kemungkinan keterlibatan anggota Komisi XI DPR RI lainnya dalam kasus serupa, Satori memilih irit bicara. Ia hanya menyebut semua sudah disampaikan kepada penyidik. “Sudah saya jelaskan semua,” kata dia.
Sementara itu, merujuk pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK per 19 Maret 2025, Satori tercatat memiliki dua unit mobil, yaitu Toyota Innova tahun 2016 dan Mitsubishi Pajero tahun 2018. Nilai keduanya mencapai Rp 525 juta. Total harta kekayaan Satori dalam laporan tersebut adalah Rp 9,42 miliar.
Namun, jumlah ini jauh berbeda dengan 15 mobil yang kini disita penyidik. Perbedaan data ini menjadi salah satu perhatian publik.
Dalam perkara ini, KPK juga telah menetapkan Heri Gunawan, mantan anggota DPR RI periode 2019–2024, sebagai tersangka bersama Satori. Keduanya diduga menerima aliran dana CSR dari BI dan OJK dalam jumlah besar yang tidak sesuai peruntukannya.
Dari hasil penyidikan, Heri Gunawan disebut menerima dana sekitar Rp 15,8 miliar. Dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, mulai dari pembangunan rumah, pembelian tanah, pengelolaan outlet minuman, hingga pembelian kendaraan.
Sedangkan Satori diduga menerima dana sekitar Rp 12,52 miliar. Uang itu digunakan untuk deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, serta pembelian kendaraan.
Keduanya dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu, KPK juga menambahkan jeratan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Hal ini karena sebagian dana yang diterima diduga sengaja dialihkan ke berbagai aset untuk menyamarkan asal-usulnya.
Meski status tersangka sudah diumumkan, KPK hingga kini belum melakukan penahanan terhadap Satori maupun Heri Gunawan. Keduanya masih menjalani proses pemeriksaan intensif sebagai bagian dari pengembangan kasus.
KPK sebelumnya mengingatkan bahwa program CSR dari lembaga keuangan negara seperti BI dan OJK seharusnya ditujukan untuk kegiatan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Namun, temuan penyidik menunjukkan sebagian dana justru dipakai untuk memperkaya pihak tertentu.
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan korupsi yang melibatkan mantan anggota legislatif. Publik menyoroti bagaimana dana sosial yang seharusnya untuk masyarakat justru mengalir ke kepentingan pribadi pejabat.
Banyak pihak menilai bahwa KPK perlu bertindak cepat agar kasus ini tidak berlarut-larut. Transparansi penyidikan juga penting agar masyarakat mengetahui sejauh mana penyalahgunaan dana CSR tersebut.
Selain itu, kasus ini diharapkan bisa menjadi pembelajaran bagi DPR dan lembaga negara lainnya dalam mengawasi penggunaan dana CSR. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat diperlukan agar dana sosial tidak kembali diselewengkan.
Kasus dugaan korupsi dana CSR BI-OJK yang melibatkan mantan anggota DPR RI, Satori dan Heri Gunawan, menunjukkan bahwa praktik penyalahgunaan dana publik masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Pemeriksaan panjang terhadap Satori oleh KPK menjadi bagian dari upaya penegak hukum untuk mengurai aliran dana hingga penggunaan aset yang mencurigakan. Publik kini menunggu langkah lanjutan KPK, termasuk kemungkinan penahanan dan proses pengadilan.
Jika terbukti bersalah, kasus ini bisa menjadi pukulan besar bagi kredibilitas wakil rakyat serta menegaskan pentingnya reformasi dalam tata kelola dana sosial di tanah air. (MDA*)