Jakarta, albrita.com – Polemik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, semakin melebar setelah sebelumnya rencana pelaporan dugaan pencemaran nama baik terganjal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kini, TNI tidak hanya berhenti pada isu tersebut, melainkan tengah mengkaji dugaan tindak pidana lain yang dianggap lebih serius.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah, mengungkapkan bahwa tim patroli siber TNI menemukan sejumlah indikasi pelanggaran hukum dalam aktivitas yang diduga berkaitan dengan Ferry Irwandi. Menurut Freddy, temuan itu sedang dipelajari lebih dalam untuk menyusun konstruksi hukum yang sesuai agar langkah selanjutnya dapat ditempuh dengan tepat.
“Namun, kami menemukan indikasi tindak pidana lain yang sifatnya lebih serius,” ujar Freddy dalam keterangan resminya, Kamis (11/9/2025). Ia menambahkan bahwa proses ini masih dalam tahap pembahasan internal dan belum ada keputusan final mengenai pasal yang akan digunakan.
Freddy menegaskan bahwa TNI tetap memegang prinsip taat hukum dalam setiap langkahnya. Ia juga menekankan bahwa lembaganya menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Menurutnya, masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan pandangan mereka, termasuk kritik terhadap institusi negara, selama hal itu dilakukan sesuai koridor hukum.
“TNI tidak akan membatasi kebebasan berpendapat. Namun, kebebasan itu tidak boleh dijadikan alasan untuk menyebarkan fitnah, disinformasi, atau ujaran kebencian,” jelasnya. Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap sikap TNI yang sebelumnya berencana melaporkan Ferry Irwandi.
Ia juga mengingatkan pentingnya tanggung jawab dalam menggunakan kebebasan berekspresi. Menurut Freddy, penyampaian kritik yang sehat seharusnya mendorong perbaikan, bukan menimbulkan permusuhan atau memecah belah masyarakat. Ia khawatir jika kebebasan tersebut digunakan secara salah, maka dampaknya bisa berbahaya bagi stabilitas sosial dan hubungan antar-lembaga negara.
“Kami berharap seluruh warga negara dalam menyampaikan pendapatnya juga tetap menaati koridor hukum yang berlaku. Jangan menyebarkan disinformasi, fitnah, dan kebencian. Jangan memprovokasi dan mengadu domba antara aparat dengan masyarakat, maupun antara TNI dengan Polri,” tegas Freddy.
Pernyataan ini sejalan dengan posisi TNI yang selama ini mencoba menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan penghormatan terhadap prinsip demokrasi. Meski begitu, langkah TNI tidak lepas dari kritik sejumlah pihak yang menilai upaya melaporkan Ferry Irwandi berpotensi mengekang kebebasan sipil. Beberapa kalangan menilai, alih-alih menggunakan jalur hukum pidana, TNI seharusnya mengedepankan dialog terbuka sebagai wujud kedewasaan institusi negara.
Di sisi lain, TNI menilai bahwa langkah hukum diperlukan ketika batas antara kritik dan dugaan penyebaran informasi menyesatkan telah terlampaui. Menurut Freddy, penyelidikan lebih lanjut akan menentukan apakah ada pasal pidana yang dapat diterapkan. Jika terbukti, maka kasus ini bisa masuk ke ranah hukum dan ditangani sesuai prosedur perundang-undangan.
Kasus ini menjadi menarik karena melibatkan aspek penting dalam kehidupan demokrasi, yakni kebebasan berekspresi di satu sisi, serta perlindungan terhadap kehormatan institusi negara di sisi lain. Putusan MK sebelumnya memang mempersempit ruang bagi pasal pencemaran nama baik untuk dipakai aparat dalam menjerat warga. Hal inilah yang membuat TNI mencari celah lain agar perkaranya tidak berhenti begitu saja.
Selain itu, kasus ini juga menimbulkan perdebatan lebih luas mengenai batasan dalam menyampaikan kritik di ruang publik, khususnya di era digital. Patroli siber yang dilakukan TNI menunjukkan bahwa aktivitas warga di media sosial kini diawasi dengan ketat. Bagi sebagian pihak, hal ini menimbulkan kekhawatiran adanya potensi overreach atau penggunaan kewenangan yang berlebihan. Namun, TNI menegaskan bahwa langkah tersebut murni untuk menjaga keamanan dan mencegah penyebaran informasi yang bisa merugikan masyarakat.
Respons publik terhadap kasus ini pun terbelah. Ada yang mendukung langkah TNI karena dinilai penting untuk menjaga nama baik institusi negara dari serangan informasi menyesatkan. Namun, ada pula yang menolak karena khawatir hal ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.
Ke depan, keputusan TNI dalam menentukan jalur hukum yang akan ditempuh akan menjadi sorotan. Jika benar ada dugaan pidana lain yang lebih serius, maka publik menunggu transparansi proses hukum agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sementara itu, bagi kalangan masyarakat sipil, kasus ini diharapkan bisa menjadi pelajaran tentang pentingnya menjaga etika dalam menyampaikan pendapat di ruang publik tanpa mengorbankan prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan.
Dengan demikian, polemik antara TNI dan Ferry Irwandi masih akan terus berjalan. Apakah kasus ini akan berakhir di meja hijau atau justru mereda dengan mediasi, semuanya bergantung pada langkah hukum yang akan dipilih. Namun yang jelas, kasus ini menegaskan bahwa keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penegakan hukum masih menjadi tantangan besar di Indonesia. (MDA*)