Jakarta, albrita.com – Dolar Amerika Serikat mencatat pelemahan mingguan terdalam dalam lebih dari sebulan terakhir. Sentimen pasar yang dipenuhi spekulasi mengenai pemangkasan suku bunga Federal Reserve membuat posisi mata uang ini kian tertekan.
Mengutip laporan Bloomberg pada Sabtu (13/9), Indeks Bloomberg Spot Dollar turun 0,3 persen sepanjang pekan ini. Angka tersebut menjadi penurunan terbesar sejak awal Agustus, sekaligus menandai titik balik setelah periode penguatan yang cukup panjang.
Pelemahan dolar AS banyak dipengaruhi oleh data pasar tenaga kerja Amerika yang mengecewakan. Data terbaru memperlihatkan peningkatan klaim pengangguran sekaligus pengurangan signifikan dalam jumlah lapangan kerja. Situasi ini memperkuat keyakinan investor bahwa The Fed harus lebih agresif menurunkan suku bunga demi mencegah perlambatan ekonomi semakin dalam.
Pasar kini memperkirakan pemangkasan suku bunga sebesar 75 basis poin pada akhir tahun. Namun, inflasi yang masih relatif stabil membuat sebagian pelaku pasar menilai dolar tidak akan anjlok secara drastis. Perdebatan pun muncul di kalangan pedagang opsi, dengan sebagian masih yakin dolar bisa kembali menguat jika The Fed memberi sinyal waspada terhadap tekanan harga.
Sejumlah analis menilai, keputusan The Fed dalam rapat minggu depan akan menjadi momen krusial. Pasar sudah memperhitungkan pemangkasan seperempat poin, tetapi komentar yang menyertainya dipandang lebih penting. Dari pernyataan itulah investor bisa membaca arah kebijakan jangka panjang, apakah bank sentral terbesar dunia itu lebih fokus pada inflasi atau pada pertumbuhan ekonomi.
Pada perdagangan Jumat, data menunjukkan sentimen konsumen AS melemah ke titik terendah sejak Mei. Ironisnya, di saat bersamaan ekspektasi inflasi jangka panjang justru naik untuk bulan kedua berturut-turut. Kondisi ini membuat investor semakin berhati-hati dalam menentukan langkah.
Michael Pfister, ahli strategi valas di Commerzbank, menilai pemangkasan suku bunga The Fed memang akan melemahkan dolar. Namun, ia menekankan bahwa pelemahan ini tidak akan berlangsung cepat. “Inflasi yang terus berlanjut membuat penurunan dolar menjadi pendarahan lambat, bukan penurunan besar dalam waktu singkat,” tulis Pfister dalam catatannya.
Commerzbank termasuk pihak paling pesimis terhadap prospek dolar. Dalam jajak pendapat Bloomberg, bank asal Jerman itu memperkirakan dolar bisa melemah hingga USD 1,22 per euro pada akhir tahun. Jika proyeksi ini benar, berarti ada potensi penurunan sekitar 4 persen dari posisi perdagangan dolar terhadap euro pada Jumat lalu.
Optimisme terhadap pelemahan dolar juga terlihat dari pernyataan Bank of America. Pada Jumat, bank tersebut menilai bahwa posisi short dollar masih menjadi perdagangan dengan tingkat keyakinan tertinggi di kalangan manajer dana global. Artinya, banyak investor masih percaya melemahnya dolar akan membawa keuntungan di pasar keuangan.
Meski begitu, tidak semua pihak sependapat. Jane Foley, kepala strategi mata uang di Rabobank, menyebut justru tingginya prevalensi posisi bearish dolar yang membuat mata uang ini cukup tangguh dalam beberapa hari terakhir. “Semakin banyak pihak yang mengambil posisi melawan dolar, semakin besar kemungkinan mata uang ini bisa bertahan dari tekanan,” tulisnya.
Di pasar opsi, pergerakan dolar mencerminkan ketidakpastian arah. Kemiringan volatilitas berada dekat paritas, tanda pasar masih terbagi dua. Sebagian percaya pelemahan akan berlanjut, sementara lainnya menunggu konfirmasi dari kebijakan The Fed. Secara teknis, pergerakan dolar minggu ini tercatat sebagai yang paling lemah sejak Maret 2024.
Data dari Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas AS yang dikumpulkan Bloomberg memperlihatkan peningkatan taruhan short dolar. Hingga 9 September, posisi short dolar oleh pedagang nonkomersial seperti dana lindung nilai dan manajer aset melonjak hingga sekitar USD 7,2 miliar. Angka ini menjadi bukti bahwa spekulasi melemahnya dolar semakin meluas.
Di sisi lain, mata uang utama dunia menunjukkan kinerja beragam terhadap dolar. Euro relatif stabil dan menutup pekan dengan sedikit perubahan di kisaran USD 1,1740 per euro. Sementara itu, dolar Kanada justru menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di antara negara-negara Grup 10, karena pasar masih menanti keputusan Bank of Canada.
Di Asia, yen Jepang masih terjebak dalam ketidakpastian politik akibat persaingan kepemimpinan di negeri tersebut. Situasi politik itu ikut mendorong investor untuk mengurangi eksposur terhadap dolar dan mencari alternatif pada aset lain di luar mata uang utama.
Secara keseluruhan, pelemahan dolar AS pekan ini menjadi cerminan betapa rapuhnya kepercayaan pasar terhadap arah kebijakan moneter The Fed. Keputusan rapat pekan depan akan menjadi kunci. Jika benar pemangkasan dilakukan, tren dolar kemungkinan masih dalam tekanan. Namun, jika The Fed memberikan sinyal hati-hati terhadap inflasi, pelemahan dolar mungkin akan berjalan lebih lambat dari perkiraan pasar.
Dengan kondisi global yang masih penuh ketidakpastian, dolar tetap menjadi pusat perhatian. Investor menunggu langkah The Fed yang bukan hanya menentukan nilai dolar, tetapi juga arah ekonomi global dalam beberapa bulan ke depan. (RSW*)