Sungai Penuh, albrita.com–Prestasi membanggakan kembali ditorehkan atlet muda Kota Sungai Penuh di ajang Kejurprov Jambi 2025.
Dari gelanggang bulu tangkis di Kuala Tungkal, kontingen kota ini sukses membawa pulang 14 medali: delapan emas, satu perak, dan lima perunggu.
Dua medali emas lahir dari kerja keras Inaya Athifa Ramadhani (SMPN 2 Sungai Penuh) dan Dinda Rezki Ramadhani (SMAN 1 Sungai Penuh). Prestasi ini disambut penuh rasa syukur oleh keluarga dan para pelatih.
“Alhamdulillah wasyukurillah ku ucapkan pada Allah atas prestasi anak-anakku Inaya dan Dinda. Semua ini lahir dari perjuangan dan kerja keras. Terima kasih kepada manajer Pak Wiza Septama, Coach Ahmad, dan Coach Abdi, serta para orang tua yang selalu mendukung,” ungkap Yumaili orang tua kedua atlit, kakak adik Dinda dan Inaya juga guru SMA 1 Sungai Penuh, Minggu (21/9/2025).
Namun di balik gemerlap emas, tersimpan kenyataan getir: pemerintah absen dalam perjuangan ini.
Hampir semua biaya ditanggung atlet dan keluarga mereka, mulai dari latihan, transportasi ke Kuala Tungkal, penginapan, hingga makan sehari-hari.
KONI Kota Sungai Penuh? Hanya membayar biaya pendaftaran. Selebihnya, lepas tangan. Ironisnya, Ketua KONI, Harfendi Johar, dengan ringan mengaku tak ada anggaran untuk mendukung penuh atlet.
Bahkan, ia justru memuji pengorbanan orang tua dan atlet, seolah penderitaan itu bisa dipoles sebagai “prestasi pembinaan”.
Sungguh logika terbalik: ketika pemerintah gagal hadir, masyarakat yang diminta jadi pahlawan.
Pertanyaan pun muncul: untuk apa KONI dibentuk jika hanya jadi kantor papan nama? Untuk apa pemerintah mengumbar janji pembinaan atlet, jika ketika benar-benar dibutuhkan, mereka hanya memberi kata-kata manis?
Medali emas yang diraih atlet Sungai Penuh bukanlah hasil kebijakan atau fasilitas dari pemerintah. Ia lahir dari keringat anak-anak muda yang berjuang tanpa seragam resmi, tanpa fasilitas memadai, bahkan tanpa dukungan logistik layak. Semua biaya bersumber dari kantong pribadi keluarga dan dukungan masyarakat.
Di banyak daerah lain, pemerintah hadir memberi sokongan penuh. Di Sungai Penuh, atlet justru dibiarkan bertarung sendirian.
Ironisnya, ketika pulang membawa medali, pejabat biasanya berbaris di podium, tersenyum di depan kamera seakan kemenangan itu hasil kerja mereka.
Pemerintah seharusnya malu. Prestasi olahraga tidak akan lahir dari pejabat yang pandai mencari alasan, tapi dari keberanian menempatkan atlet sebagai aset, bukan beban.
Jika tanpa dukungan saja Sungai Penuh bisa berjaya, bayangkan betapa dahsyatnya prestasi bila pemerintah benar-benar hadir.(al)