Di lereng sejuk Sungai Penuh, bau menyengat dari arah Renah Padang Tinggi (RPT) menghantui warga setiap hari. Truk-truk pengangkut datang silih berganti, menebar debu dan aroma tajam yang memadati udara. Namun kali ini, bau paling busuk bukan berasal dari limbah, melainkan dari dugaan permainan anggaran di balik proyek kebersihan kota.
Polres Kerinci menelusuri dugaan korupsi dalam pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) yang dijalankan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Sungai Penuh. Penyelidikan itu bermula ketika tim menemukan lonjakan anggaran yang tidak sebanding dengan kondisi lapangan pada tahun anggaran 2023–2024.
Sumber internal yang mengikuti jalannya penyelidikan menyebut, penyidik menemukan kejanggalan pada sejumlah pos anggaran, mulai dari honor petugas lapangan, biaya bahan bakar alat berat, hingga dana operasional harian. “DLH mengajukan anggaran bahan bakar dalam jumlah besar, tapi alat berat di TPAS jarang bekerja. Petugas lapangan sering kehabisan logistik,” kata sumber itu.
Kasat Reskrim Polres Kerinci, AKP Very Prasetyawan, menegaskan bahwa timnya menyelidiki kasus ini secara serius. “Kami memeriksa pengelolaan sampah di RPT karena menemukan indikasi markup anggaran pada beberapa kegiatan,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa penyidik sudah meminta keterangan dari operator lapangan dan pejabat DLH. “Kami sudah memanggil kepala dinas dan beberapa pejabat untuk memberikan keterangan,” tegasnya.
Kondisi TPAS RPT menunjukkan wajah buruk pengelolaan sampah di lapangan. Jalan menuju lokasi berlubang dan berlumpur. Gunungan sampah menggunung tanpa penataan. Alat berat yang seharusnya meratakan tumpukan justru berhenti di tempat. Warga sekitar mengaku tidak tahan dengan bau yang semakin menyengat setiap hari.
“Kami bayar retribusi sampah tiap bulan, tapi kota tetap kotor. Kalau pejabat bermain anggaran, berarti mereka mengkhianati rakyat,” kata Dedi, warga Desa Sungai Ning.
Kepala DLH Kota Sungai Penuh, Wahyu, menolak memberi penjelasan detail. Ia menjawab singkat, “Sesuai peruntukkanyo,” lalu pergi meninggalkan wartawan.
Media memperoleh salinan laporan anggaran yang mencatat lonjakan signifikan. Biaya operasional tahun 2024 melonjak hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, sementara layanan kebersihan justru memburuk. Truk pengangkut sering mogok beroperasi, dan jadwal pengangkutan sampah dari pasar-pasar utama kota sering molor.
Aktivis lingkungan menilai pemerintah daerah gagal mengawasi proyek kebersihan. “Kebersihan kota mencerminkan tata kelola pemerintahan. Kalau urusan sampah saja berantakan, bagaimana kita bisa bicara pembangunan berkelanjutan?” ujar Romi Kurnia, aktivis dari komunitas Hijau Kerinci.
Petugas lapangan pun mengeluhkan kondisi kerja mereka. Mereka mengaku bekerja dengan perlengkapan minim dan gaji yang sering terlambat. “Kami tahu kondisi sebenarnya. Banyak alat rusak, tapi laporan keuangan menulis semuanya berfungsi,” kata salah satu petugas yang meminta namanya disembunyikan.
Polres Kerinci berjanji menuntaskan kasus ini tanpa pandang bulu. Aparat berkomitmen menindak siapa pun yang terbukti bermain dalam pengelolaan anggaran publik. “Kami akan menindak tegas pihak yang menyalahgunakan dana. Ini menyangkut pelayanan dasar masyarakat,” tegas AKP Very.
Kasus dugaan korupsi TPAS RPT mencerminkan wajah buram tata kelola lingkungan di Sungai Penuh. Saat gunungan sampah terus meninggi di tepi kota, warga menunggu aparat membersihkan bukan hanya limbah yang terlihat, tetapi juga kerak moral yang tersembunyi di balik meja birokrasi. Sebab, kebersihan sejati tidak cukup dengan menyapu jalan—ia harus menyingkirkan tangan-tangan kotor yang mencuri uang rakyat. (redaksi)









