Jakarta, albrita.com – Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh kasus dugaan korupsi yang melibatkan seorang mantan kepala sekolah di Kalimantan Utara. HF, yang pernah menjabat sebagai Kepala SMAN 1 Peso, Kabupaten Bulungan, ditangkap aparat kepolisian karena diduga menilap dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pendidikan (BOP) dengan nilai fantastis mencapai Rp846 juta lebih.
Kasus ini mencuat setelah penyelidikan panjang yang dilakukan Polresta Bulungan bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Kalimantan Utara. Hasil audit menunjukkan adanya penyalahgunaan dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan siswa dan sekolah, namun justru diselewengkan untuk memperkaya diri pribadi.
Kasat Reskrim Polresta Bulungan, Kompol Irwan, mengungkapkan bahwa HF menjalankan aksinya dengan tidak transparan sejak awal. Dalam penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS), HF tidak melibatkan tim BOS maupun para guru. Bahkan, bendahara sekolah yang seharusnya memiliki peran penting dalam pengelolaan dana hanya dijadikan formalitas.
Menurut Irwan, bendahara hanya diminta untuk menandatangani dokumen tanpa diberi akses penuh terhadap pembukuan dan laporan keuangan. Akibatnya, seluruh pengelolaan dana sepenuhnya berada di tangan HF. Lebih jauh, laporan pertanggungjawaban yang dibuat juga dipenuhi dengan nota pembelian fiktif. Beberapa toko dan warung yang dicantumkan dalam laporan mengaku tidak pernah melakukan transaksi sebagaimana yang tertulis dalam bukti pembelian.
Modus licik inilah yang membuat dana BOS dan BOP selama bertahun-tahun tidak tersalurkan sesuai kebutuhan. Dana yang seharusnya dipakai untuk menunjang operasional sekolah, mulai dari pembelian buku, perbaikan fasilitas, hingga mendukung kegiatan belajar siswa, justru masuk ke kantong pribadi.
Audit BPKP mengonfirmasi bahwa total kerugian negara akibat ulah HF mencapai Rp846.860.000. Angka ini sangat besar bagi sebuah sekolah negeri di daerah, yang seharusnya bisa meningkatkan kualitas pendidikan dan membantu siswa dari keluarga kurang mampu.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan mendalam, karena dana BOS dan BOP merupakan tulang punggung operasional sekolah di berbagai daerah. Dana tersebut adalah bentuk dukungan pemerintah agar pendidikan bisa berlangsung tanpa membebani orang tua murid. Jika dana ini disalahgunakan, maka yang paling dirugikan adalah para siswa, guru, dan masyarakat yang menggantungkan harapan pada sekolah negeri.
Kepolisian menegaskan bahwa HF kini sudah resmi ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ancaman hukuman yang menanti HF tidak main-main, mulai dari pidana penjara hingga denda dalam jumlah besar.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi pejabat sekolah lain agar mengelola dana pendidikan secara transparan. Penggunaan dana BOS dan BOP seharusnya dipantau bersama oleh kepala sekolah, bendahara, guru, serta komite sekolah agar tidak terjadi penyelewengan.
Masyarakat di Bulungan pun bereaksi keras. Beberapa orang tua murid menyampaikan kekecewaannya, karena merasa dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan anak-anak justru diselewengkan. Ada yang menilai kasus ini mencoreng dunia pendidikan, ada pula yang berharap proses hukum berjalan tuntas agar memberikan efek jera.
Di sisi lain, aparat kepolisian menyatakan masih terus melakukan pengembangan. Tidak menutup kemungkinan ada pihak lain yang ikut terlibat, meskipun saat ini HF disebut sebagai aktor utama. Penyelidikan lebih lanjut dilakukan untuk memastikan apakah ada aliran dana ke pihak lain atau hanya dinikmati sendiri oleh HF.
Kasus korupsi dana pendidikan seperti ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, berbagai laporan serupa muncul di sejumlah daerah, memperlihatkan bahwa dana BOS yang besar sering kali rawan disalahgunakan. Kondisi ini menegaskan perlunya pengawasan lebih ketat, baik dari pihak internal sekolah maupun dari lembaga pemerintah terkait.
Dengan kasus terbaru ini, publik kembali diingatkan bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merampas masa depan generasi penerus bangsa. Setiap rupiah yang diselewengkan berarti mengurangi kesempatan anak-anak untuk mendapatkan fasilitas belajar yang layak.
HF kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Proses peradilan akan menjadi babak penting untuk memastikan keadilan ditegakkan. Masyarakat berharap agar kasus ini tidak hanya berhenti pada penjatuhan vonis, tetapi juga menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola dana pendidikan di Indonesia.
Dengan terungkapnya kasus ini, sorotan publik kini mengarah pada pentingnya integritas di dunia pendidikan. Seorang kepala sekolah bukan hanya pemimpin lembaga, tetapi juga panutan moral bagi siswa dan guru. Ketika kepala sekolah sendiri terjerat kasus korupsi, maka kepercayaan terhadap sistem pendidikan ikut tercoreng.
Nepotisme, penyalahgunaan wewenang, dan pengelolaan dana yang tidak transparan harus segera diberantas. Pemerintah daerah dan pusat diharapkan memperkuat sistem audit, melibatkan masyarakat dalam pengawasan, serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku penyelewengan.
Kasus HF adalah contoh nyata betapa pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana publik. Rp846 juta bukan hanya angka di atas kertas, tetapi dana yang seharusnya membantu ribuan siswa mendapatkan pendidikan yang layak. Kini, semua pihak menanti bagaimana proses hukum berjalan dan apakah pelaku akan benar-benar dihukum setimpal dengan perbuatannya. (MDA*)