Pemerintah Didorong Renegosiasi Proyek Kereta Cepat Indonesia–Tiongkok demi Kepentingan Publik

- Jurnalis

Selasa, 21 Oktober 2025 - 15:47 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ferwinta Zen, SE, SH, MH

Ferwinta Zen, SE, SH, MH

Penulis: Ferwinta Zen, SE, SH, MH

Jakarta-Pemerintah baru dinilai memiliki dasar hukum yang kuat untuk meninjau ulang kontrak proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) yang melibatkan kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok. Langkah renegosiasi bahkan dianggap sah secara hukum dan penting untuk melindungi kepentingan publik, menyusul temuan pembengkakan biaya proyek dari Rp80 triliun menjadi lebih dari Rp113 triliun sebagaimana dilaporkan BPK pada 2023.

Temuan itu memunculkan dugaan adanya praktik markup dan korupsi pada masa pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini membuka ruang bagi pemerintah untuk melakukan renegosiasi atau bahkan pembatalan kontrak jika ditemukan pelanggaran berat yang merugikan negara.

Renegosiasi Sah Berdasarkan Hukum

Pakar hukum Ferwinta Zen menjelaskan bahwa asas rebus sic stantibus dalam hukum internasional memberikan hak bagi negara untuk meninjau ulang kontrak ketika terjadi perubahan mendasar yang tak terduga sejak perjanjian dibuat. Prinsip ini diperkuat oleh Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya strategis harus ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Selain itu, prinsip good faith mengharuskan kedua pihak menjalankan kontrak dengan integritas dan tanggung jawab. Dengan demikian, renegosiasi proyek KCIC tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi kepentingan publik.

Baca Juga :  Hamas Serahkan Jenazah Sandera Israel dan Lanjutkan Pencarian di Gaza

Langkah Renegosiasi KCIC

Pemerintah dapat memulai proses renegosiasi dengan beberapa tahapan strategis. Pertama, melakukan audit independen untuk memastikan besaran kerugian negara akibat biaya tak wajar. Kedua, menjalankan dialog bilateral dengan pemerintah Tiongkok melalui jalur diplomatik dengan tetap mengedepankan semangat kerja sama dan keadilan.

Langkah ketiga, menyesuaikan klausul kontrak melalui penerapan Dynamic Sovereignty Clause, agar skema pembiayaan, kepemilikan saham, dan jadwal pembayaran lebih sesuai dengan kepentingan nasional. Pemerintah juga perlu menerapkan mekanisme pengawasan dan transparansi berkala guna memastikan akuntabilitas proyek tetap terjaga.

Pelajaran dari Dunia Internasional

Sejumlah negara seperti Iran (1951), Meksiko (1938), serta Bolivia dan Venezuela pada era 2000-an pernah mengambil langkah berani meninjau ulang atau menasionalisasi proyek energi yang dianggap merugikan rakyat. Mereka menegaskan hak kedaulatan nasional dalam mengelola sumber daya strategis, asalkan dilakukan secara transparan dan berlandaskan hukum internasional.

Baca Juga :  AS Diduga Danai Demo Berdarah di Nepal Senilai Rp14 Triliun

Renegosiasi Lebih Realistis dari Pembatalan

Ferwinta menilai renegosiasi menjadi opsi paling realistis dibanding pembatalan. Pendekatan ini menjaga hubungan diplomatik dengan Tiongkok dan memungkinkan proyek tetap berjalan dengan efisiensi lebih baik.

Melalui renegosiasi, pemerintah dapat menyesuaikan skema pembiayaan agar lebih adil bagi Indonesia, menata ulang komposisi kepemilikan saham, serta memperketat mekanisme pengawasan dan pelaporan rutin. Pembatalan kontrak, menurutnya, hanya layak ditempuh jika terbukti terjadi pelanggaran berat dan kerugian negara sangat besar.

Kesimpulan

Renegosiasi proyek KCIC menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan hukum dan ekonomi. Dengan dasar hukum internasional dan konstitusional yang kuat, pemerintah dapat menempuh pendekatan Dynamic Sovereignty Clause guna memastikan proyek strategis nasional berjalan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan keberpihakan kepada rakyat.

Langkah ini tidak hanya menjaga kredibilitas negara di mata investor asing, tetapi juga menunjukkan komitmen Indonesia dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi global dengan kepentingan nasional.

 

 

Berita Terkait

Trump Apresiasi Presiden Prabowo di KTT ASEAN ke-47 Malaysia
Donald Trump Tiba di Malaysia untuk KTT ASEAN ke-47, Sempat Joget dengan PM Anwar Ibrahim
Trump Tolak Bertemu Putin karena Belum Ada Kepastian Perdamaian Ukraina
Timor Leste Resmi Jadi Anggota ke-11 ASEAN di KTT Malaysia
Trump Tiba di Malaysia, Jadi Penengah Konflik Thailand–Kamboja
WNI Didakwa Bunuh Istri di Hotel Singapura, Terancam Hukuman Mati
Italia Catat 4.400 Korban Pelecehan Pastor Sejak 2020, Paus Leo XIV Tuntut Transparansi Gereja
Presiden Ekuador Daniel Noboa Nyaris Diracun di Acara Publik

Berita Terkait

Minggu, 26 Oktober 2025 - 17:02 WIB

Trump Apresiasi Presiden Prabowo di KTT ASEAN ke-47 Malaysia

Minggu, 26 Oktober 2025 - 11:33 WIB

Donald Trump Tiba di Malaysia untuk KTT ASEAN ke-47, Sempat Joget dengan PM Anwar Ibrahim

Minggu, 26 Oktober 2025 - 10:03 WIB

Trump Tolak Bertemu Putin karena Belum Ada Kepastian Perdamaian Ukraina

Minggu, 26 Oktober 2025 - 09:33 WIB

Timor Leste Resmi Jadi Anggota ke-11 ASEAN di KTT Malaysia

Minggu, 26 Oktober 2025 - 08:01 WIB

Trump Tiba di Malaysia, Jadi Penengah Konflik Thailand–Kamboja

Berita Terbaru

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengacungkan jempol saat foto bersama dalam KTT Perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh, Mesir, Senin (13/10/2025). Foto: Evan Vucci / POOL / AFP

Internasional

Trump Apresiasi Presiden Prabowo di KTT ASEAN ke-47 Malaysia

Minggu, 26 Okt 2025 - 17:02 WIB