Jakarta, albrita.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi pemberian kredit bank kepada PT Sritex Tbk. Perkembangan terbaru, dua petinggi perusahaan sekaligus kakak beradik, yakni Iwan Setiawan Lukminto (ISL) dan Iwan Kurniawan Lukminto (IKL), ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menyampaikan bahwa penetapan tersangka ini dilakukan pada 1 September 2025. Keduanya diduga kuat menggunakan dana hasil pencairan kredit tidak sesuai dengan peruntukan dan menyamarkannya melalui berbagai aset.
Sebelumnya, Iwan Setiawan lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penyalahgunaan dana kredit dari bank milik negara. Ia diduga memakai dana pinjaman yang seharusnya untuk modal kerja justru dipakai membayar utang dan membeli aset pribadi. Saat itu, Iwan menjabat Direktur Utama PT Sritex.
Sementara itu, adiknya, Iwan Kurniawan, menjabat sebagai Wakil Direktur Utama Sritex. Ia disebut ikut menandatangani permohonan kredit modal kerja dan investasi kepada salah satu bank milik daerah pada 2019, serta menandatangani akta perjanjian kredit dengan bank lain pada 2020. Padahal, Iwan Kurniawan diduga tahu bahwa dana tersebut tidak digunakan sesuai aturan.
Kejagung menegaskan, kasus ini tidak hanya melibatkan dua orang. Hingga kini, ada 12 tersangka yang dijerat. Mereka berasal dari pihak internal Sritex hingga jajaran bank yang memberikan kredit. Para tersangka diduga bersekongkol untuk memuluskan pencairan pinjaman.
Kerugian negara dalam perkara ini diperkirakan mencapai Rp1,08 triliun. Angka itu muncul dari kredit macet yang diberikan Bank DKI sebesar Rp149 miliar, Bank BJB Rp543 miliar, dan Bank Jateng Rp395 miliar. Kredit tersebut tidak dapat dikembalikan karena dana yang dicairkan tidak digunakan sesuai tujuan awal.
Selain menetapkan tersangka, Kejagung juga menyita aset bernilai fantastis. Penyitaan terbaru dilakukan terhadap 152 bidang tanah milik Iwan Setiawan Lukminto yang tersebar di Sukoharjo, Jawa Tengah. Sebagian besar tanah atas nama Iwan sendiri, sementara puluhan bidang lain tercatat atas nama istrinya, Megawati.
Tak hanya itu, satu bidang tanah dengan status hak guna bangunan atas nama PT Sukoharjo Multi Indah Textile Mill juga ikut disita. Aset-aset ini diperkirakan bernilai Rp510 miliar. Total keseluruhan tanah yang disita mencapai 500.270 meter persegi atau lebih dari 50 hektare, tersebar di Sukoharjo, Surakarta, Karanganyar, dan Wonogiri.
Menurut Kejagung, penyitaan dilakukan bertahap dengan pemasangan plang sita di setiap lokasi. Langkah ini dianggap penting untuk memulihkan kerugian negara yang timbul akibat praktik korupsi dan pencucian uang yang dilakukan para tersangka.
Meski status tersangka sudah menjerat kakak beradik bos Sritex, pihak kuasa hukum menilai hal itu tidak mengejutkan. Pengacara kondang Hotman Paris yang mendampingi Iwan Setiawan menyebut penetapan TPPU dalam kasus korupsi sudah seperti pola lama.
Menurut Hotman, hampir semua perkara korupsi yang ditangani aparat selalu ditambah dengan jeratan TPPU. Ia menilai hal itu klise, sehingga tidak memberi dampak baru terhadap pembelaan kliennya. Kendati demikian, ia enggan berkomentar lebih jauh terkait substansi perkara.
Di sisi lain, publik menyoroti kasus ini sebagai salah satu skandal kredit terbesar dalam beberapa tahun terakhir. PT Sritex, yang dikenal sebagai raksasa tekstil asal Solo, sempat dianggap perusahaan kebanggaan nasional karena mampu menembus pasar internasional. Namun, kasus hukum yang menjerat petinggi perusahaan membuat reputasi itu tercoreng.
Penyidik Kejagung memastikan proses hukum masih akan terus berjalan. Pemeriksaan terhadap para tersangka, termasuk pemanggilan saksi baru, terus dilakukan. Kejagung juga membuka peluang untuk menetapkan tersangka tambahan apabila ditemukan bukti keterlibatan pihak lain.
Langkah tegas berupa penyitaan aset dinilai sebagai strategi untuk memberi efek jera dan mengembalikan kerugian negara. Dengan nilai kerugian mencapai lebih dari Rp1 triliun, negara menuntut agar para pelaku bertanggung jawab penuh atas tindakan mereka.
Kasus Sritex ini memperlihatkan bagaimana penyalahgunaan fasilitas kredit dapat merugikan negara dalam jumlah sangat besar. Meski dana pinjaman diberikan dengan alasan pengembangan usaha, praktik kolusi antara perusahaan dan oknum perbankan justru mengakibatkan terjadinya kebocoran besar.
Seiring berjalannya proses hukum, masyarakat kini menanti sikap tegas aparat dan pengadilan dalam memutuskan perkara ini. Bagi publik, penyelesaian kasus Sritex tidak hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga mengembalikan kepercayaan terhadap sistem perbankan dan tata kelola perusahaan di Indonesia.
Kejagung menegaskan, penyidikan tidak akan berhenti hanya pada aset tanah. Penyidik masih menelusuri kemungkinan adanya aset lain yang digunakan untuk menyamarkan dana hasil tindak pidana. Dengan begitu, upaya memiskinkan para pelaku korupsi dan pencucian uang bisa benar-benar terlaksana.
Hingga kini, kasus yang menjerat kakak beradik bos Sritex menjadi salah satu sorotan utama publik. Proses hukum yang berjalan akan menjadi ujian serius bagi Kejagung dalam menegakkan aturan dan memberi sinyal bahwa tidak ada pihak yang kebal hukum, termasuk para pengusaha besar yang selama ini dikenal memiliki jaringan kuat di dunia bisnis nasional. (AD*)